MPTV Indonesia — Genre dangdut kembali merebut layar lebar Indonesia, kali ini lewat sentuhan emosional dan jenaka dari Monty Tiwa dalam film terbarunya, Mendadak Dangdut (2025). Bukan sekadar pengulangan atau tribute untuk film dengan judul sama yang meledak pada 2006, film ini adalah reinvensi penuh nuansa—menyentuh, gelap, namun tetap menggelitik.
Dibintangi Anya Geraldine sebagai Nayara Amalia Wardhani, film ini menggali sisi terdalam dari seorang diva pop yang terjerumus ke dalam dunia dangdut bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan. Dari panggung megah ke pentas pinggiran, dari single pop ke duet dengan legenda usang, Naya menempuh perjalanan pelik yang mempertemukannya kembali dengan keluarganya—dan dirinya sendiri.
Monty Tiwa, yang dulu dikenal sebagai penulis skenario Mendadak Dangdut (2006), kini tampil sebagai sutradara. Ia memilih tidak mengulang narasi lama. “Ini bukan remake. Ini cerita baru dengan semangat yang sama: tentang musik, tentang manusia yang tersesat, dan tentang irama yang menyelamatkan,” ujar Monty dalam sesi eksklusif dengan wartawan.
Film ini melangkah lebih jauh dari sekadar musikal. Ada jejak trauma, konflik keluarga, hingga ketegangan thriller yang terbangun saat Naya menemukan manajernya terbunuh dalam kamar hotel. Dari situ, film berubah haluan menjadi drama kriminal dengan elemen komedi dan musik sebagai penyeimbang.
Menariknya, Mendadak Dangdut (2025) juga mengangkat pentingnya memori dan musik sebagai alat pemulihan psikologis. Sang ayah yang diperankan almarhum Joshua Pandelaki menderita Alzheimer, namun justru mengingat masa lalu melalui lantunan lagu dangdut. Sebuah pendekatan baru yang jarang disentuh dalam perfilman Indonesia.
Komedi tetap hidup melalui karakter-karakter absurd namun menggemaskan. Opie Kumis sebagai Haji Romli, Keanu Angelo sebagai Wawan, dan Adi Sudirja sebagai Ki Yatno menghadirkan tawa dalam situasi paling tak terduga. Dialog mereka menjadi jembatan yang menghubungkan dunia musik pinggiran dengan kenyataan pahit yang dialami para tokohnya.
Film ini tak hanya merayakan dangdut sebagai musik rakyat, tapi juga sebagai cermin sosial yang memotret dinamika kelas, perjuangan perempuan, dan konflik generasi. Dusun Singalaya, tempat pelarian Naya, menjadi simbol ruang alternatif tempat transformasi dimulai.
Dan meskipun hari festival Larung Pes yang menjadi puncak cerita tak menyuguhkan klimaks mencengangkan, justru dari kesederhanaan itulah film ini menemukan kekuatannya—bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari keputusan kecil dan suara-suara yang selama ini dianggap “rendah”.
Dengan sinematografi hangat dan nuansa musik yang memadukan tradisional dan kontemporer, Mendadak Dangdut (2025) adalah bukti bahwa dangdut bukan sekadar genre, melainkan narasi sosial yang terus hidup.***